Photo by YAKOBCHUK VIACHESLAV on Shutterstock

Siapa yang di sini kalau stres, suka makan manis-manis?

Tenang, kamu tidak sendiri. Telah banyak penelitian yang membahas tentang hubungan antara stres dan kebiasaan makan. Memang, mayoritas manusia mencari makanan yang manis, tinggi kalori, dan karbohidrat saat seseorang merasa stres.

Kondisi stres menurut WHO (2021) didefinisikan sebagai respons tubuh terhadap perubahan yang menyebabkan tekanan dalam aspek fisik, emosional, dan/atau psikologis. Salah satu contoh tanda seseorang mengalami stres yaitu adanya perubahan pola makan.

Stres pada remaja sering dikaitkan dengan mengonsumsi makanan manis yang tinggi dengan kandungan gula seperti minuman berperisa, kue, jajanan, mie, roti, dan lainnya. Kondisi stres seseorang meningkatkan aktivasi otak yang berhubungan dengan ‘memberi diri sendiri sebuah hadiah’ dengan cara mengonsumsi yang tinggi gula. Hal ini dikarenakan gula meningkatkan nafsu makan sehingga tubuh menangkap sinyal tersebut dan berujung makan berlebihan.

Apalagi dalam masa ujian, telah membuktikan bahwa remaja lebih banyak memilih untuk mengonsumsi makanan yang tinggi kalori dan kejadian snacking lebih sering dari biasanya.

Tapi tahu nggak sih, kalau terbiasa seperti itu dan makan tidak terkontrol selama bertahun-tahun malah berpotensi menyebabkan obesitas?

Pertama, stres berkaitan dengan obesitas memang ada mekanismenya dalam tubuh, lho. Otak sebagai pemeran utama dalam mengelola stres, terutama di bagian hypothalamic-pituitary-adrenal (HPA) axis. Hormon kortisol disekresikan oleh kelenjar adrenalin sebagai salah satu indikator terjadinya stres pada tubuh. Sekresi tersebut berhubungan erat dengan metabolisme tubuh.

Seperti lingkaran setan, berat badan yang berlebih menyebabkan tubuh stres sehingga kecenderungan untuk memilih makan makanan tinggi kalori dan tinggi lemak meningkat. Kebiasaan mengonsumsi makanan manis mengakibatkan kecanduan pada gula dan ingin selalu mencari makanan yang tinggi kalori dan gula. Gula yang berlebih setelah diproses oleh tubuh diubah menjadi cadangan energi.

Kemudian, penumpukan cadangan energi tersebut dapat berubah menjadi berat badan berlebih hingga terjadinya obesitas. Beberapa indikator terjadinya obesitas: BMI yang di atas 27 kg/m2  serta lingkar pinggang wanita lebih dari 80 cm dan untuk pria lebih dari 90 cm. Sebab, obesitas merupakan salah satu penyebab timbulnya penyakit lain, di antaranya diabetes melitus tipe 2, hipertensi, hingga dislipidemia.

Jika kamu ingin mencari makanan yang lebih baik untuk dikonsumsi, salah satu pilihan makanan bergizi yang bisa dicoba saat stres yaitu dark chocolate (coklat hitam).

Coklat identik dengan peningkatan suasana hati. Dark chocolate mengandung sekitar 75% padatan kakao dan tentunya mengandung gula yang lebih sedikit dibanding milk chocolate. Jenis coklat ini memiliki antioksidan (polifenol dan flavonoid) lebih tinggi serta mengandung endorphin yang mampu mengurangi nyeri haid, sehingga tubuh menjadi rileks dan nyaman.

Penelitian yang dilakukan oleh Martin et al. (2009) menunjukkan bahwa konsumsi dark chocolate 40 gram selama 2 minggu mengakibatkan penurunan kadar hormon kortisol dari subyek dengan stres yang tinggi, yang kemudian mengurangi tingkat stres fisik maupun mental. Kandungan pada dark chocolate meningkatkan respon metabolisme dan aktivitas mikrobiota usus seseorang terhadap stres.

Kebiasaan makan terutama pada makanan manis pada remaja dapat berlangsung hingga beranjak dewasa. Oleh karena itu, penting untuk sejak dini menjaga pola dan kebiasaan makan yang sehat, yakni mengurangi konsumsi gula berlebihan dan sesuaikan dengan batas gula harian: 5 sendok makan per hari (kurang lebih 50 gram).

Bagai pepatah legendaris dari Latin ‘Mens sana in corpore sano’ yang artinya kesehatan fisik dan mental saling memengaruhi; sehingga kebiasaan makan serta manajemen stres perlu diperhatikan agar memperoleh tubuh sehat dengan jiwa yang sehat pula.

Kalau sekarang, mau makan apa saat stres?

— — —

Referensi:

  1. WHO. 2021. Stress. [Internet]. Available from: https://www.who.int/news-room/questions-and-answers/item/stress.
  2. Cartwright, M., et al. 2003. Stress and Dietary Practices in Adolescents. Health Psychology. 22 (4):362–369. DOI: 10.1037/0278-6133.22.4.362.
  3. Arfailasufandi, R. and Ardiana, F. 2018. Pengaruh Pemberian Coklat Hitam terhadap Penurunan Nyeri Haid pada Dismenorhea Primer. Journal of Health Science and Prevention. 2(1): 27-35. ISSN 2549-919X.
  4. Hewagalamulage, S.D., et al. 2016. Stress, cortisol, and obesity: a role for cortisol responsiveness in identifying individuals prone to obesity. Domestic Animal Endocrinology. 56 (Supplement): S112-S120. DOI:10.1016/j.domaniend.2016.03.004.
  5. Jacques, A., et al. 2019. The impact of sugar consumption on stress driven, emotional and addictive behaviors. Neuroscience and Biobehavioral Reviews. 103 (2019): 178-199. DOI:10.1016/j.neubiorev.2019.05.021.
  6. Martin, F.-P. J., et al. 2009. Metabolic Effects of Dark Chocolate Consumption on Energy, Gut Microbiota, and Stress-Related Metabolism in Free-Living Subjects. Journal of Proteome Research. 8(12): 5568–5579. DOI:10.1021/pr900607v.

Penulis:

Tasya Permata Afifah, S.Gz (Asosiasi Institusi Pendidikan Tinggi Indonesia), Besti Verawati, S.Gz., M.Si (Univeritas Pahlawan Tuanku Tambusai)

Similar Posts

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *